Thursday, April 12, 2012

Pemimpin merakyat, atau pemimpin yang berlogika

Beberapa hari belakangan ini ada ada diskusi dan reaksi di sebuah group email atas aksi seorang pejabat Menteri Indonesia yang mengurai kemacetan di pintu tol Ancol (Jakarta). Reaksi anggota milis menuju 2 (dua) kutub, ada yang bersimpati, setuju dan mendukung tetapi ada pula yang mencemooh, dan menganggap tindakan sang menteri itu mencari sensasi dan popularitas belaka.

Sewaktu SMA guru sejarah menerangkan bahwa salah satu faktor suksesnya revolusi Perancis adalah berkembangnya aliran romantisme (Romantic) yang mengikuti gerakan "Renaissance" yang memberi kebebasan berekspresi dan berkarya kepada seniman dan rakyat Perancis. "Tinggi gunung kan kudaki, luas lautan kan kuseberangi", itu hanyalah ungkapan kata,  tetapi romantisme yang melahirkan kebersamaan emosi telah mengkonversi artikulasi kata itu menjadi energi yang maha dahsyat untuk menumbangkan kekuasaan yang mengangkangi hak-hak kebebasan dan keadilan dalam waktu yang cukup lama itu. Revolusi Perancis, People Power di Philippine dan Gerakan Reformasi tahun 1998 di Indonesia sama-sama didorong oleh gerakan romantisme. Darah dan airmata adalah lubrikasi bagi gerakan romantis, semakin banyak darah tertumpah dan air mata ibu korban yang mengalir karena kepahlawanan anaknya, maka akan semakin cepat pula roda emosional berputar mencari kesetimbangan baru. Berbeda dengan aliran realisme yang dipengaruhi logika, kesuksesan aliran romantis justru karena mengkesampingkan logika. Aliran realisme tidak pernah sampai pada hitungan bahwa ratusan mahasiswa beraliran romantis akan mengencingi atap gedung DPR/MPR Indonesia pada tahun 1998 itu. Tetapi aliran romantis pula yang melanggengkan jalan bagi salah seorang petinggi partai disangka korup, padahal aliran realisme bisa mendeteksi prilaku korup tersebut semenjak dini dari  pengolahan data dan logika statistik, karena prilaku individu di masa depan tak jauh berbeda dengan prilakunya di masa lalu.

Apa yang dilakukan oleh sang menteri Indonesia di atas adalah mencoba menunggangi aliran romantisme masyarakat Indonesia yang sedang frustrasi, marah, sedih dan kecewa dengan kenyataan (realism) bahwa reformasi dan demokrasi tak memberi kemajuan apapun bagi kesinambungan berbangsa dan bernegara semenjak reformasi tahun 1998, pemerintah dianggap tak membela rakyat, pejabat tak memiliki sensitivitas bahwa rakyat bertahan hanya untuk hidup dari hari-ke-hari. Maka ketika ada seorang pejabat menteri diliput media bahwa dia ikut mengurai kemacetan di pintu tol, maka awan emosional romantisme akan menutupi cahaya logika, dan masyarakat yang sakit dengan serta merta terharu dan simpati dan menganggap tindakan tersebut adalah nyata sebagai kepedulian yang merakyat, padahal logika akan berkata bahwa tindakan tersebut mencerminkan betapa sempitnya cakrawala dan wawasan berpikir seorang pejabat sekelas menteri di Indonesia dalam memilih strategy dan taktis untuk memecahkan persoalan. Logika akan memandang kenyataan betapa luasnya Indonesia dari sabang sampai merauke untuk dikembangkan agar tak ada persoalan macet di pintu tol yang disebabkan oleh centralistik segala sendi kehidupan di seputar Jabotabek dan Pulau Jawa.

Setelah lebih 67 tahun Indonesia berdiri, seharusnya  logika masyarakat Indonesia semakin sehat.

2 comments:

  1. aha...i know you...everybody call me sugar..in my village that mean..gulo....my wife from sawahlunto..i see that the same with you...ha...ha...god luck bro...

    ReplyDelete